[Wajah Syiah ] Definisi Syī’ah secara Etimologi (Bahasa)


1. Pengertian Syī’ah  
A.    Definisi Syī’ah secara Etimologi (Bahasa)
a. Lafal Syī’ah menurut Bahasa
Secara bahasa Syī’ah berasal dari kata syaya'ayasyi'usyĩ'atan yang artinya pengikut dan pendukung. Demikian menurut Muhammad bin Abu Bakar bin Abdi-l-Qodir ar-Razi dalam Mukhtār as-Shihhāh[1] dan Fairuz al-Abadzi, dalam Qāmus al-Muhith[2].
Ibnu Mandzur dalam Lisān al-Arab[3] mengatakan lafal Syī’ah bermakna: Sebuah kelompok yang berkumpul untuk mewujudkan tujuan tertentu. Menurutnya, setiap kelompok yang berkumpul untuk mewujudkan tujuan tertentu dapat disebut Syi'ah.
Sementara, Ibnu Atsir berpendapat bahwa Syī’ah bermakna firqatun min an-nās (sekelompok manusia). Bisa dipakai untuk lafal mufrad (singular/tunggal), mutsannā (dua pelaku) dan jama' (plural/banyak). Dapat dipakai untuk lafal Mudzakkar (masculine) maupun muannats (feminine). Namun lafal ini kemudian populer sebagai sebutan bagi mereka yang mendukung Imam Ali dan keluarganya sebagai pemimpin, sehingga menjadi nama yang sangat khas bagi kelompok ini.   
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa lafal Syī’ah secara bahasa bermakna: Pengikut dan pendukung atau sekelompok manusia yang berkumpul untuk mewujudkan tujuan tertentu. Kesimpulan seperti ini didukung oleh al-Mufid, seorang ulama' Syī’ah ternama abad 5. Menurutnya, "Syī’ah secara bahasa adalah mengikuti kelompok tertentu dengan penuh keikhlasan atas dasar agama dan loyalitas"[4]
b. Lafal Syī’ah dalam Sejarah Islam
Penyebutan Syī’ah dengan makna pengikut dan pendukung ini sering dipakai di masa-masa awal perkembangan Islam, sebagaimana diceritakan oleh al-Balāduri dalam Ansāb al-Asyrāf, al-Ya'qūbi dalam Tārīkh Ya’qubi, Ad-Dainūri dalam Akhbār at-Thiwāl, Nasr Muzāhim dalam Waq'ah as-Shiffīn, serta at-Tabari dalam  Tārīkh.
Al-Baladuri –misalnya- dalam Ansāb al-Asyrāf menyebutkan sebagai berikut:
Akhirnya Thalhah dan Zubair berangkat ke Mekah, sementara Ibnu Amir baru datang dari Basrah bersama Ya'la bin Maniyyah membawa dana (yang cukup besar) dari Yaman. Mereka berkumpul di rumah Aisyah untuk bertukar fikiran. Hingga mereka berkesimpulan: "Kelihatannya mau tidak mau kita harus bergerak ke Madinah untuk menyerang Ali". Namun sebagian dari mereka berkomentar: "Kalian pasti tidak akan mampu mengalahkan orang-orang Madinah". "Kalau begitu kita bergerak ke Syam (Siria)," jawab mereka, "Karena di sana terdapat (Syī’ah)  pendukung dan dana yang cukup besar. Bukankah penduduk Syam merupakan Syī'atu `Utsman (pengikut/ pendukung Utsman)? Dengan begitu kita mendapatkan (Syī’ah)  pendukung dan musyāyi'in (pengikut), lalu kita tuntut darah Utsman". Namun sebagian mereka berkata: "Bukankah di sana ada Mu'awiyah, penguasa Syam yang ditaati? Bukankah dia lebih utama dari kalian dalam tuntutan tersebut, karena dia adalah keponakannya, sehingga tidak mungkin kalian dapat merealisasikan maksud kalian tersebut". Di antara mereka menjawab: "Jika demikian kita harus bergerak ke Iraq, karena di Kufah, Thalhah memiliki banyak Syī’ah (pengikut), sementara di Basrah, Zubair memiliki simpatisan". Akhirnya mereka sepakat untuk bergerak ke Basrah[5].
Sementara, Ya’qubi juga menyebutkan dalam Tarīkh Ya’qubi bahwa Mu'awiyah berkata kepada Bisr bin Artha'ah ketika hendak berangkat ke Yaman: "Pergilah ke Sana', karena di sana kita memiliki Syī’ah (pengikut/pendukung)".
Adapun Nasr Muzahim dalam Waq'ah as-Shiffīn, ad-Dinawari dalam al-Akhbār at-Thiwāl serta at-Thabari dalam Tarikh, masing-masing menyebutkan bahwa lafal Syī’ah disebutkan beberapa kali dalam prasasti kesepakatan kedua belah kubu dalam peristiwa Shiffīn, yang juga bermakna pengikut atau pendukung sebagaimana disebutkan di bawah ini:
"Bismillahirrahmanirrahim"
Poin pertama: "Berikut ini apa yang telah diputuskan oleh Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah bin Abi Shofyan beserta syī'atihimā (pengikut/pendukung keduanya). Keduanya telah rela untuk berhukum kepada Al-Qur’ān dan Sunnah Rasul."   
Poin keempat: "Sesungguhnya Ali beserta syī'atihi (pengikut / pendukungnya) menyepakati Abdullah bin Qois sebagai wakil dan hakim dari pihaknya, sementara Mu'awiyah beserta syī'atihi (pengikut / pendukungnya) menyepakati Amru bin Ash sebagai wakil dan hakim dari pihaknya".
Poin kedelapan: "Jika ada salah satu dari kedua hakim tersebut meninggal sebelum terbentuknya pemerintahan, maka Syī'atahu (pengikut/ pendukungnya) berkewajiban untuk memilih  pengganti dari komunitas orang-orang yang berbudi, dengan memegang teguh kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya"[6].
Hal ini menandaskan bahwa Syī’ah dalam arti kelompok yang memiliki pandangan hidup dan keyakinan tertentu tidak muncul di awal perkembangan Islam. Namun, muncul dan berkembang di kemudian hari, sebagai implikasi dari berbagai peristiwa sejarah yang terjadi seperti yang akan dijelaskan kemudian.
c. Lafal Syī’ah dalam Al-Qur'an
Lafal Syī’ah beserta derivatnya disebutkan di dalam Al-Qur’ān sebanyak 11 kali, dengan perincian: (syī'atin (1 kali), syī'atihi (2 kali), syiya'an (4 kali), syiya'in (1 kali), asy-yāakum (1 kali), asy-yāihim (1 kali), dan an-tasyī'a (1 kali).
Berikut ayat-ayat tersebut beserta penafsiran Ibnu Katsir atas lafal-lafal tersebut:
Lafal pertama (syī'atin) terdapat di dalam surat Maryam ayat 69: 
ثُمَّ لَنَنزِعَنَّ مِن كُلِّ شِيعَةٍ أَيُّهُمْ أَشَدُّ عَلَى الرَّحْمَنِ عِتِيًّا"
"Kemudian pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap golongan siapa di antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah."
Menurut Imam Ibnu Katsir yang dimaksud dengan (lananzianna min kulli syī'atin) adalah: “Kami akan tarik dari tiap-tiap pengikut agama itu para pemimpin mereka”[7].
Lafal kedua terdapat dalam ayat 83 dari surat as-Shafat:
وَإِنَّ مِن شِيعَتِهِ لَإِبْرَاهِيمَ"
"Dan Sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh)".
Maksudnya: Ibrahim termasuk golongan Nuh a.s. dalam keimanan kepada Allah dan pokok-pokok ajaran agama.
Menurut penjelasan Ibnu katsir, lafal "Min Syī'atihi" artinya min ahli dīnihi (dari pengikut agama-nya). Mujahid berkata: "Yang berada dalam satu ajaran dan sunnah-sunnahnya"[8].
Lafal ketiga terdapat dalam surat al-Qashash ayat 15:
وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِّنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلَانِ هَذَا مِن شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِن شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِينٌ.
Musa lalu masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, Maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya. Lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: "Ini adalah perbuatan syaitan. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya)".
Makna hādza min syī'atihi, menurut Ibnu Katsir adalah al-Isrāīli (bangsa Israel)[9]; dimana Nabi Musa merupakan keturunan dari bangsa tersebut.  
Lafal keempat terdapat dalam surat al-An'an ayat 65:
قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَن يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِّن فَوْقِكُمْ أَوْ مِن تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعاً وَيُذِيقَ بَعْضَكُم بَأْسَ بَعْضٍ انظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ"
Katakanlah: "Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya).
Firman Allah au yalbisakum syiya'an, menurut Ibnu Katsir maknanya adalah yaj'alakum multabisīna syiya'an firaqan mutakhōlifīn (menjadikan kamu bingung karena berada di antara kelompok-kelompok yang sedang berselisih) [10].
Lafal kelima terdapat dalam surat al-An'an ayat 159:
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمْ وَكَانُواْ شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ)
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan [Maksudnya: ialah golongan yang amat fanatik kepada pemimpin-pemimpinnya], tidak ada sedikitpun tanggung-jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah kepada Allah. Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang Telah mereka perbuat.
Sementara, lafal keenam terdapat dalam surat Rum ayat 32:
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka [Maksudnya: meninggalkan agama tauhid dan menganut pelbagai kepercayaan menurut hawa nafsu mereka] dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.
Lafal ketujuh terdapat dalam surat al-Qashash ayat 4:
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِّنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
"Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.
Menurut Imam Ibnu Katsir, makna waja'ala ahlahā syiya'an adalah ashnāfan qad shurrifa kullu shinfin fīmā yurīdu min umur daulatihi (berkelompok-kelompok, tiap kelompok telah diberi tugas masing-masing sesuai dengan apa yang dikehendakinya, untuk kepentingan pemerintahannya) [11].
Lafal kedelapan terdapat di dalam surat al-Hijr ayat 10:  
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ فِي شِيَعِ الأَوَّلِينَ
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (beberapa Rasul) sebelum kamu kepada umat-umat yang terdahulu."
Makna walaqad arsalnā min qoblika min syiya'i al-awwalīn adalah ursila min qablika min al-umam al-mādhiyah (Telah diutus sebelum kamu –dari umat-umat terdahulu- seorang Rasul kecuali telah didustakan[12].
Lafal kesembilan terdapat dalam Surat al-Qomar 51:
وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا أَشْيَاعَكُمْ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ
Dan sesungguhnya telah Kami binasakan orang yang serupa dengan kamu. Maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?
Makna walaqad ahlaqna asyya'akum, yaitu umat-umat sebelum kamu, yang telah mengingkari kerasulan[13].
Adapun lafal kesepuluh terdapat dalam ayat 54 Surat as-Saba’:
وَحِيلَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَا يَشْتَهُونَ كَمَا فُعِلَ بِأَشْيَاعِهِم مِّن قَبْلُ إِنَّهُمْ كَانُوا فِي شَكٍّ مُّرِيبٍ
"Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini (yang mereka ingini itu ialah beriman kepada Allah atau kembali ke dunia untuk bertaubat) sebagaimana yang dilakukan terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa dahulu. Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) dalam keraguan yang mendalam.
Dan lafal kesebelas terdapat dalam Surat an-Nur ayat 19:
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.
Dari apa yang telah disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir di atas dapat disimpulkan bahwa makna lafal Syī’ah dan derivatnya dalam al-Quran berkisar antara: Penganut agama, bangsa (etnis), kelompok-kelompok yang berselisih, kelompok-kelompok yang diberi tugas masing-masing untuk kepentingan pemerintahannya, umat-umat terdahulu, orang-orang yang serupa dengan orang-orang sebelumnya.
Kesimpulan ini senada dengan kesimpulan Ibnu al-Jauzi dan ad-Damaghani. Menurut Ibnu al-Jauzi ayat-ayat di atas secara umum memiliki empat makna[14]:
Pertama: Kelompok, seperti tersebut dalam surat al-An'am: 159, al-Hijr: 10, ar-Rum: 32, dan al-Qoshah: 4.
Kedua: al-Ahl wa an-Nasab (Keluarga dan keturunan), seperti tersebut dalam Surat al-Qoshas: 15.
Ketiga: Ahlu al-Millah (Penganut agama), seperti tersebut dalam Surat Maryam: 69, al-Qomar: 51, as-Saba': 54.
Keempat: al-Ahwā' al-Mukhtalīfah (Hawa nafsu yang beragam), seperti tersebut dalam surat al-An'am: 65.
Sementara Ad-Damaghani dalam Qōmus al-Qur’ān[15], menyebutkan makna kelima yaitu menyebarkan dan penyebaran, seperti tertera dalam surat an-Nur: 19[16].
Hal ini menguatkan kesimpulan sebelumnya bahwa pemakaian lafal Syī’ah dalam al-Quran tidak berkonotasi “Kelompok Syī'ah” sebagaimana difahami saat ini.
d. Lafal Syī’ah dalam Hadis
Sementara, pemakaian lafal Syī’ah dalam Hadis juga bermakna pengikut dan pendukung. Seperti tersebut dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Maqsam Abi al-Qasim, budak Abdullah al-Harits bin Naufal, tentang seorang lelaki yang berkata kepada Nabi Saw; "Hai Muhammad, aku telah menyaksikan apa yang telah Anda perbuat hari ini". "Lalu apa pendapatmu?" jawab Rasulullah. "Aku melihat bahwa Anda tidak berlaku adil".
Naskah lengkap Hadis di atas sebagai berikut:
"Aku keluar bersama Talid bin Kilab al-Laitsi, hingga kami bertemu dengan Abdullah bin Amru bin al-Ash, yang sedang thawaf mengelilingi Ka'bah, sambil membawa sandal dengan tangannya. Lalu aku bertanya kepadanya: "Apakah Anda berada di tempat kejadian saat seorang dari kabilah Tamimi berkata kepada Rasulullah usai perang Hunain?". "Ya, saya berada di tempat kejadian" kata Ibnu Amru. "Pada saat itu datanglah seorang lelaki dari bani Tamim, yang bernama Dzu Huwaishirah, lalu ia berdiri di hadapan Rasulullah yang saat itu sedang membagikan ghanimah (harta rampasan perang), lalu ia berkata: "Hai Muhammad, aku telah menyaksikan apa yang telah Anda perbuat hari ini." "Lalu apa pendapatmu," tanya Rasulullah. "Aku melihat bahwa Anda tidak berlaku adil". Rasulullah kelihatan marah kemudian berkata: "Celaka kamu, jika aku tidak berbuat adil, lalu siapa gerangan yang melakukannya?" Umar bin Khattab secara sepontan berkata: "Wahai Rasulullah, sebaiknya kita bunuh saja orang ini". Rasulullah menjawab: "Tidak, biarkan saja, ia akan memiliki Syī’ah (pengikut), yang akan keluar dari agama ini sebagaimana anak panah keluar dari busurnya ... "[17].  
Makna Syī’ah dalam Hadis di atas adalah pengikut dan pendukung. Demikian pula lafal Syī’ah yang termuat dalam Hadis yang dikeluarkan oleh Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Ibnu Abbas Ra. "... Lalu apa yang disebutkan dalam firman Allah, "Wainna min syī'atihi la Ibrāhīm", maknanya: "Di antara Syī’ah (pengikut) Nuh adalah Ibrahim", yang berada dalam ajaran dan sunnah-sunnahnya". 
Maka berdasarkan penelitian Dr. Al-Qaffari, tidak dapat ditemukan pemakaian lafal Syī’ah dalam Hadis dengan makna "kelompok” atau “madzhab Syī’ah” yang kita kenal saat ini  yaitu pengikut Imam Ali (yang memiliki keyakinan tertentu), kecuali dalam Hadis-Hadis lemah dan palsu, seperti beberapa Hadis tersebut di bawah ini:
Pertama: Hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah telah meminta pengampunan kepada Allah untuk Imam Ali dan para pengikutnya (Syi'ah). فاستغفرت لعلي وشيعته   "Aku meminta pengampunan untuk Ali dan pengikutnya".
Menurut al-Aqīli, sebagaimana dinukil oleh Dr. Al-Qaffari, Hadis ini tidak memiliki asal, sementara al-Kannani mengklasifikannya ke dalam Hadis maudhu' (palsu).
Kedua: Hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah membuat permisalan diri beliau, Imam Ali dan pengikutnya (Syī'ah), seperti halnya pohon:
مثلي مثل شجرة، أنا أصلها وعلي فرعها ... والشيعة ورقها.
"Permisalan aku bagaikan pohon, aku pokoknya, Ali cabangnya, sementara Syī’ah daunnya".
Ibnu al-Jauzi mengklasifikasikan Hadis ini ke dalam kategori Hadis palsu, sementara Imam Syaukani juga meletakkan Hadis tersebut juga ke dalam Hadis palsu dalam bukunya al-Fawāid al-Majmū'ah fī al-Ahādīts al-Maudhū’āt".
Ketiga: Hadis yang menyatakan, bahwa Rasulullah bersabda bahwa Imam Ali dan pengikutnya (Syī'ah) akan berada dalam surga:
قال صلى الله عليه وسلم لعلي: أنت وشيعتك في الجنة.
Rasulullah bersabda kepada Imam Ali: "Kamu dan pengikutmu (Syī'ah) berada di surga".
Hadis ini menurut penilaian Ibnu al-Jauzi termasuk kategori Hadis palsu, sehingga dimasukkan dalam ensiklopedinya "al-Maudhū’āt" (kumpulan Hadis-Hadis palsu). Demikian pula menurut Imam Dzahabi dalam bukunya Mīzān al-I'tidāl, serta As-Syaukani dalam " al-Fawāid al-Majmū'ah fī al-Ahādīts al-Maudhū’āt "[18].
Sekalipun Hadis-Hadis di atas dianggap Hadis shahih, namun apa yang dimaksud dengan Syī’ah sebagai pengikut/pendukung Imam Ali, tidak serta-merta mengisyaratkan atau menunjukkan adanya pengangkatan Imam Ali sebagai Imam sepeninggal Nabi Muhammad Saw. tanpa jeda waktu, tapi lebih kepada manāqib (pujian), atau dalam arti pengikut dan pendukung Ali bin Abi Thalib pada saat menjadi salah satu Kholafa’ ar-Rasyidin.         



[1] Muhammad bin Abu Bakar bin Abdu al-Qadir ar-Razi, Mukhtār as-Shihhāh, (Beirut: al-Maktabah al-ashriyah, Cet. I, 1995), hlm. 337  
[2] Al-Fairuz Abadi, al-Qāmūs al-Muhīth (Beirut: Mathba'ah al-Ashriyah, Cet. III, 1933), hlm. 3/47
[3] Abu Fadhl Jamaluddin Muhammad bin Makram bin Ibn Mandzur, Lisān al-Arab, (Beirut: Dar as-Shadir, t.t), hlm. 7/188-189.  
[4] Muhammad bin Muhammad an-Nu'man al-Mufid, Komentar Fadhlullah az-Zinjani, Awāil al-Maqālat fī al-Madzāhib al-Mukhtārāt, (Najf: Maktabah al-Haidariyah, Cet. III, 1393), hlm. 22-23.   
[5] Al-Baladuri, Ansāb al-Asyrāf, Editor: Syeikh Muhammad Baqir al-Mahmudi (Beirut: Muassasah al-A'lami, Cet. I), hlm. 221;  Juz 2, Waraqah 71-B.   
[6] Dr. Muhammad Hamidullah al-Haidar Abadi, Majmū'ah al-watsāiq as-siyāsiyyah fi al-Ahdi an-Nabawi wa al-Khilāfah ar-Rāsyidah, (Kairo: Maktabah ats-Tsaqafah ad-Diniyah, t.t), hlm. 538-539    
[7] Ibnu Katsir, Tafsīr al-Qur’ān al-Adhim, (Beirut: Dar al-Jail, Beirut:  Cet. II, 1990), hlm. 3/128.   
[8] Ibnu katsir, Tafsīr al-Qur’ān al-Adzīm, hlm. 4/14  
[9] Ibnu Katsir, Tafsīr al-Qur’ān al-Adzīm, hlm. 3/369   
[10] Ibnu katsir, Tafsīr al-Qur’ān al-Adzīm, hlm. 2/132   
[11] Ibnu katsir, Tafsīr al-Qur’ān al-Adzīm, hlm. 4/14.   
[12] Ibnu katsir, Tafsīr al-Qur’ān al-Adzīm, hlm. 4/14.   
[13] Ibnu katsir, Tafsīr al-Qur’ān al-Adzīm, hlm. 4/270   
[14] Ibnu al-Jauzi, Nuzhatu al-A'yun an-Nadzir, Muhammad Abdul Karim Kadzim ar-Radhi. (Ed), (Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. I, 1984) hlm. 376-377   
[15] Ad-Damaghani, Qōmus al-Qur’ān aw Ishlāh al-Wujūd wa an-Nadzāir, Abdu al-Aziz al-Ahl. (Ed), (Beirut: Daru-l-ilmi li-l-malayin, Cet. III, 11977) hlm. 271
[16]  إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
[17] Imam Ahmad, Musnad Imam Ahmad, Kitab: Musnad al-Mukats-tsirīn min as-shahābah, Bab: Musnad Abdullah bin Amru bin al-Ash, No. 6741.     
[18] Nashiruddin bin Abdullah bin Ali al-Qaffari, Ushūl Madzhab  al-Imāmiyah al-Itsnā Asyariyah, (t.k: t.p, Cet. II, 1994), hlm.36  (
 
Penulis : Dr. M. Kholid Muslih, MA 
Ph.D. Bidang Aqidah-Filsafat Universitas Al-Azhar Kairo Mesir 
Dosen Tetap dan Ketua Program Studi Ilmu Akidah Pascasarjana Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor 
  


 

KATA MEREKA

Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com

Lebih baru Lebih lama