Menggugat ‘Keperkasaan’ Perempuan di Parlemen

Tarqiyah : Tuntutan pemenuhan minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik khususnya dilembaga lembaga legislatif, kini menjadi salah satu kewajiban yang harus ditaati oleh semua partai politik. Pertanyaan yang sering kali muncul dan menjadi perdebatan adalah sejauhmana era demokratisasi pasca -rezim otoriter (orba) mewadahi partisipasi politik perempuan? Sejauhmana pencapaian keterwakilan politik perempuan dalam lembaga parlemen hasil pemilu demokratis ?
Konsep perwakilan dalam sistem demokrasi tidak lagi dilihat sebagai keterwakilan kelompok mayoritas yang menjadi pemenang dalam kompetisi politik sehingga dapat duduk diparlemen. Lebih dari itu, penghargaan terhadap kelompok minoritas dan perwakilannya diparlemen - salah satunya perempuan - juga diakui dalam sistem demokrasi.
Oleh karena itu, keterwakilan perempuan di dalam parlemen memiliki peran yang sangat penting sebab suara mereka dalam memperjuangkan kepentingan dan kebutuhan perempuan dapat terakomodir di dalam setiap kebijakan.
Namun harus diakui bahwa sistem politik di Indoensia masih menjadi hambatan atas keterlibatan perempuan dalam politik serta kurangnya dukungan partai politik terhadap perempuan. Hal ini turut diperkuat dengan persepsi yang menganggap perempuan tidak cocok untuk aktif dan berperan dalam fungsi publik di masyarakat, apalagi aktor politik.
Selain itu, hambatan perempuan untuk menjadi calon anggota legislatif, apalagi masuk ke dalam parlemen juga dipengaruhi oleh persepsi kultural masyarakat tentang peran perempuan. Problem ini sebagian besar ditemui di hampir setiap daerah. Jika mau jujur menilai kinerja anggota legislatif perempuan di daerah, mereka berhasil memainkan perannya dengan baik. Sudah saatnya kepentingan dan kebutuhan prempuan di legislatif menjadi prioritas, karena jumlah penduduk kita didominasi oleh perempuan.
Persoalan yang dihadapi perempuan di parlemen adalah masih terbatasnya kapasitas mereka , baik dalam merumuskan isu isu kebijakan strategis terkait kepentingan perempuan, maupun dalam mengelola isu yang berorientasi pemgarus utamaan gender. Keterbatasan kapasitas ini bisa jadi antara lain terkait dengan fakta belum terbangunnya jaringan antara para legislator perempuan di parlemen dengan para aktivis dan pejuang kepentingan perempuan di luar parlemen.(kompasiana/To)
 Wallahu A‘lam.

KATA MEREKA

Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com

Lebih baru Lebih lama